UPACARA GALUNGAN
Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama
kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804
atau tahun 882 Masehi. Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di
Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga
abad, pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi
keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum
dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan
tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat
kerajaan konon menjadi relatif pendek. Ketika Sri Dhanadi mangkat dan
digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan
kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun.
inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah
melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan
negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri
Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan
hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia serta memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan. inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma.
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia serta memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan. inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma.
hakikat Galungan adalah merayakan me-nangnya dharma
melawan adharma. Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang
dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan
Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar.
Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia.
Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari
sebelum Galungan.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari
Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh
(Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara
ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di
masing-masing tempat suci. Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan
Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan
pemujaan.
Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan
Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan
Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut
pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi
sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini
hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri. Demikian urutan
upacara yang mendahului Galungan.
Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis
wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa
indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melam-piaskan kegembiraan dengan
mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga
mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang
disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke
sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaitu hidup sehat panjang
umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta
gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari
Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang
mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam
lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran).
Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksana-kan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara "diceritakan" kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga).
Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksana-kan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara "diceritakan" kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga).
Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku
Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai
dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca
Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya
ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.
(sumber:
http://www.wisatadewata.com/article/adat-kebudayaan/hari-raya-galungan)
(sumber:
http://www.wisatadewata.com/article/adat-kebudayaan/hari-raya-galungan)
0 comments:
Post a Comment